Sabtu, 09 Juni 2012




BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang
Metode istinbat selanjutnya yang akan kami bahas pada pertumuan kali ini adalah ta’wil. Ta’wil menurut al-Ghazali ialah ungkapan tentang pengambilan makna dari lafadz zhahir yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti itu lebih kuat di banding makna yang ditujukan oleh makna zhahir. ta’wil tidak membahas lafazd-afazd yang mustarak karena lafazd yang mustarak merupakan suatu lafazd yang ditetapkan untuk dua arti atau lebih yang dilakukan dengan sengaja berdasarkan hakikatnya.
Kajian ta’wil sebagaimana ijtihad dan ra’yu tidak menyangkut nash-nash yang qat’i baik secara khusus maupun secara umum yang merupakan landasan dari kaidah-kaidah syara’ yang bersifat umum atau kaidah-kaidah fiqih yang berguna untukmenentukan ketetapan hukum permasalahan furu, sehingga para imam dapat menerima dan mengamalkannya.
Adapun kajian daripada ta’wil adalah furu’ sebagaimana pendapat dari Imam Asy-Syaukani. Ta’wil semakin berkembang pembahasannya sehingga menurut Hanafi mencakup nash dan zahir.

B.        Rumusan Masalah
1.   Apakah yang dimaksud dengan ta’wil ?
2.   Apa saja macam-macam ta’wil ?
3.   Apa saja kaidah-kaidah ta’wil ?
4.   Bagaimana ta’wil yang dilihat dari kualitasnya ?
5.   Apa nas-nas yang bisa dita’wil ?

 
BAB II
PEMBAHASAN
A.       Pengertian Ta’wil
Secara etimologi ta’wil berasal dari kata awwala, yuawwilu, ta’wilan yang berarti al-tafsir yaitu penjelasan, uraian atau al-Marja’, al Mashir yang berarti kembali atau tempat kembali.[1]
 Sedangkan menurut terminologi para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan ta’wil, diantaranya yaitu :
1.      Menurut Abdul Wahab, ta’wil adalah :
صرف اللفظ عن ظا هربد ليل
“Memalingkan lafadz dari zahirnya karena ada dalil”.
2.      Menurut Abu Zarhah, ta’wil adalah:
إخراج اللفظ عن ظا هر معناه الى معنى اخريحتمله وليس هوالظا هرفيه
“Mengeluarkan lafadz dari artinya yang zhahir kepada makna lain, tetapi bukan zhahirnya”.[2]
3.      Menurut Imam Ghazali, ta’wil adalah
“Ungkapan tentang pengambilan makna dari lafadz zhahir yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti itu lebih kuat di banding makna yang ditujukan oleh makna zhahir”.[3]
Contoh :
....يَدُاللهِ فَوْقَ أَيْدِ يْهِمْ.....
“….tangan Allah di atas tangan mereka….”(Q.S. Al-Fath : 10)

Kata “yadullu” (tangan Allah) sebagaimana tersebut di atas di ta’wil dengan “alqudratu” yang artinya kekuasaan Allah.[4]
Abdul Whab Khallaf menegaskan dalam kitabnya ilmu Ushul Fiqh bahwa ta’wil dianggap sah/benar jika diperkuat oleh dalil syariat baik nas (Al-Qur’an dan Hadits) atau qiyas, ruh tasyri’, dan dasar-dasarnya yang bersifat umum.

B.        Macam-macam Ta’wil
1.      Ta’wil Qarib
Ta’wil qarib ialah ta’wil yang dekat dengan pemahaman, yakni ta’wil yang dengan arti dzohirnya dan dapat dipahami dengan mudah dan dapat juga dapat dikatakan bahwasannya ta’wil ini adalah ta’wil yang penempatannya cukup dengan dalil ataurgument yang sederhana.
Misalnya dalam firman Allah Q.S. Al-Maidah : 6.
يَااَيُّهاَ الَّذِيْنَ امَنُوْا اِذاَقُنْتُمْ اِلَى الصَّلوةِ فَا غْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى اْلمَرَافِقِ...
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hedak mengerjakan shalat maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku-siku”

 Dalam ayat tersebut, kata kuntum dipalinhkan dari makna lahirnya, yaitu “kamu telah berdiri” kepada makna yang lebih dekat yaitu “kamu hendak mengerjakan” dalilnya Allah tidak memerintahkan wudhu sesudah orang yang mengerjakan sholat,sebab wudhu merupakan syarat sholat yang mana syarat yang harus ada sebelum mengerjakan sholat.

2.      Ta’wil Ba’id
Ta’wil ba’id ialah ta’wil yang jauh dari pemahaman, yakni ta’wil yang dalam penetapannya tidak cukup dengan dalil atau dengan argument yang sama. Takwil semacam ini bisa juga dikatakan sebagai ta’wil yang jauh dari arti dzohirnya dan sulit dipahami dan dalam penetapannya harus dengan dalil yang kuat dan dapat menjadikan lebih rajah daripada makna dzohir. Misalnya dalam firman Allah Q.S. Al-Mujadillah : 4.
فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعاَ مُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْناً
              Artinya :
              “Maka barang siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) member makan enam puluh fakir miskin.”

Mengenai ta’wilan ayat di atas menurut mazhab Hanafi yakni kata “member makan enam puluh orang miskin” itu maksudnya adalah kebutuhan. Menurut mereka, hal ini cukup dengan  “memberi makan enam puluh orang miskin dalam enam puluh hari”. Ini merupakan ta’wil yang jauh karena ada pengalihan dari bilangan tertentu, yaitu “enam puluh orang miskin” menjadi “enam puluh hari”.
Menurut Imam Syafi’i penakwilan seperti itu dianggap ta’wil yang ba’id dan dinyatakan bathil, karena lafadz Sittin adalah lafadz khusus yang menunjukkan arti qat’i sehingga tidak membutuhkan penakwilan.[5]

C.       Kaidah-Kaidah yang Berhubungan dengan Ta’wil
1.      الفروع يدخله التاؤيل اتفاقا
Artinya : “Masalah cabang (furu’) dapat dimasuki ta’wil berdasarkan konsensus”.
2.      الأصول لايدخله التا ؤيل
Artinya : “ Masalah Ushuluddin tidak dapat menerima ta’wil”.
Adapun ulama’ salaf seperti Hanbali dan Ibn Taimiyah memeperbolehkan adanya ta’wil pada masalah usuluddin namun pada akhirnya ia memilih tafwidh (menyerahkan arti sebenarnya kepada Allah).

D.       Ta’wil Dilihat dari Kualitasnya
1.      Ta’wil Shahih
v  Ciri-ciri Ta’wil Shahih
Menurut Khalid Ramadhan Hasan dalam kitabnya mu’jam ushul fiqih memberikan kriteria tentang ta’wil shahih, diantaranya yaitu :
a.       Lafadz itu dipastikan dapat menerima ta’wil, yaitu lafazd yang termasuk katagori zhahir dan nas, lafadz yang termasuk katagori mufassar dan muhkam tidak dapat dita’wil.
b.      Penta’wilan didasari oleh dalil yang ma’qul baik berupa nas(Alqur’an dan hadits), qiyas, ijma’, atau hikmah tasyri’ atau prinsip-prinsipnya yang bersifat umum.
c.       Ta’wil tidak bertentangan dengan nas yang sharih.
v  Metode Ta’wil yang Shahih
           Menurut Abu Zahra, metode ta’wil yang shahih dapat ditempuh dengan cara sebagai berikut :
a.       Mentakhsis kalimat umum seperti lafadz jual beli.
b.      Men-taqyid kalimat mutlaq seperti kata “darah” dalam ayat sebagai berikut dalam Q.S. Al-Maidah ayat 3 :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ اْلمَيْتَةُوَالَدَّمُ...
Artinya :
“Diharamkan bagimu (memekan) bangkai dan darah…”

Kata darah dalam ayat diatas bersifat mutlaq, maka kemudian dibatasi (ditaqyid) oleh darah yang mengalir. Yang mana dijelaskan dalam  Q.S al-An’am ayat 145 :
قُلْ لاَاَجِدُفىِ مَا اُوْحِيَ الَىَّ مُحَرَّماً عَلىَ طَعاَ مٍ يَطْعَمُهُ اِلاَّ اَنْ يَكُوْنَ مَيْتَةً اَوْدَماً مَسْفُوْحاً

Artinya :
“Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu atau darah yang mengalir…”

Setelah ditaqyid maka keharaman darah tidak lagi bersifat mutlaq yang menunjukkan kepada semua bentuk darah, tetapi sudah terbatas kepada darah yang mengalir. Dengan demikian, darah yang tidak mengalir seperti hati hukumnya tidak haram.[6]
2.      Ta’wil Fasid
           Ta’wil fasid adalah memalingkan makna zhahir ke makna yang tidak memungkinkan, atau masih memungkinkan namun tidak di dukung oleh dalil. Ta’wil semacam ini ditolak karena tidak memenuhi persyaratan ta’wil. Sehingga jika ada susunan kalimat yang ditakwil maka ta’wilnya itu jadi rusak karena ada penyimpangan dari persyaratan ta’wil.
Contoh Q.S. Al-Maidah ayat 89  :
.
“….maka kifarat (melanggar) sumpah itu, ialah ember makan sepuluh orang miskin….”

Ayat diatas di ta’wil dengan “memberi orang miskin sepuluh kali”, bukan “member makan sepuluh orang miskin”. Pentakwilan seperti ini ditolak (mardud), karena adanya kecacatan dalam ta’wil dan meremehkan ta’wil yang memang telah jelas ditunjukkan oleh nas secara ta’wil.[7]

E.        Lafaz Nas yang dapat Menerima Ta’wil
Adapun nas yang dapat menerima ta’wil diantaranya :
1.      Nas-nas Al-Qur’an atau hadits Nabi yang diduga mengandung bentuk “penyamaan” sifat Allah dengan apa yang berlaku dikalangan manusia,padahal Allah tidaklah bisa disamakan dengan yang lainnya. Misalnya, menta’wilkan “tangan Allah” dengan “kemurahan Allah” seperti disebutkan dalam Q.S.Alma’idah ayat 64 :
..
Artinya :
”...bahkan dua tangan-Nya terbuka lebar, member menurut sesuka-Nya”.

2.     Nas-nas yang khusus berkaitan dengan hukum taklifi. Ta’wil dalam masalah ini berupaya untuk menyelaraskan hukum yang terdapat dalam ayat-ayat dan hadits-hadits yang secara lahiriah terkesan ada pertentangannya. Ta’wil semacam ini adalah mentakhsiskan terhadap lafazd yang umum. Misalnya, Q.S. at-Talaq ayat 4 :

Artinya :
“…dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka ialah sampai mereka melahirkan”.

Dalam Q.S. Al-baqarah ayat 234 disebutkan :
...
Artinya :
“Orang-orang yang meninggal dunia diantara kamu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari…”

Zahir ayat yang disebut pertama menunjukkan bahwa melahirkan merupakan akhir masa iddah, baik iddah yang disebabkan oleh talak maupun iddah yang disebabkan karena suami meninggal dunia. Adapun nas yang kedua menunjukkan bahwa iddah yang disebabkan suaminya meninggal dunia ialah empat bulan sepuluh hari, baik istri hamil atau tidak hamil. Guna menghindari pertentangan pengertian kedua ayat diatas, maka ayat tentang iddah wanita yang ditinggal suaminya ditakhsis oleh keadaan tidak hamil.[8]

F.        Perbedaan Ta’wil dan Tafsir
1.      Ta’wil adalah esensi sesuatu yang berada dalam realita (bukan dalam fikiran). Sedangkan tafsir adalah merupakan syarah dan penjelasan bagi suatu perkataan dan penjelasan ini berada dalam fikiran dengan cara memahaminya dan dalam lisan dengan ungkapan yang menunjukkannya.
2.      Ta’wil adalah apa yang berhubungan dengan dirayah dan tafsir itu adalah apa yang berhubungan dengan riwayah.
3.      Ta’wil lebih banyak digunakan dalam menjelaskan makana dan susunan kalimat, sedangkan tafsir adalah lebih banyak dipergunakan dalam (menerangkan) lafadz dan mufrodat (kosakata).[9]
4.      Ta’wil lebih banyak dipergunakan makna dan kalimat dalam kitab-kitab yang diturunkan Allah, sedangkan tafsir adalah lebih umum dan lebih banyak dipergunakan untuk lafazd dan kosakata dalam kitab-kitab yang diturunkan Allah dan kitab-kitab lainnya.
5.      Ta’wil menetapkan makna yang dikehendaki suatu lafazd yang dapat menerima banyak makna karena didukung oleh dalil, sedangkan tafsir menerangkan makna lafazd yang menerima selain dari satu arti.
6.      Ta’wil menyeleksi salah satu maknayang mungkin diterima oleh suatu ayat tanpa menyakinkan bahwa itulah yang dikehendaki Allah, sedangkan tafsir adalah menetapkan apa yang dikehendaki ayat dan menetapkan seperti seperti yang dikehendaki Allah.
7.      Ta’wil adalah menafsirkan batin lafazd, sedangkan tafsir ialah menerangkan makna lafazd baik berupa hakikat atau majaz.[10]












[1] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung : Pustaka Setia, 2010), h. 169
[2] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Kairo : Dar al-Fikr Al-Arabi), h. 131
[3]Abu Hamid al-Ghazali, al-Musthafa fi Ilm al-Ushul, (Bairut: Dar al-Kutub Islamiyah, 1973),h.128
[4] Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta : Prenada Media Group, 2011), h. 214
[5] Ahmad Qarib, Ushul Fiqh 2, (Jakarta : PT. Nisam Multima, 1997), h. 43-45
[6] Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh …., h. 217
[7] Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh …., h. 218
[8] Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh…, h. 221
[9]  Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta : PT. Lentera AntarNusa, 2000), h. 460
[10] Hasbi Ash-Shidqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h.181-182