BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Metode
istinbat selanjutnya yang akan kami bahas pada pertumuan kali ini adalah
ta’wil. Ta’wil menurut al-Ghazali ialah ungkapan tentang pengambilan makna dari
lafadz zhahir yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti itu lebih kuat di
banding makna yang ditujukan oleh makna zhahir. ta’wil tidak membahas
lafazd-afazd yang mustarak karena lafazd yang mustarak merupakan suatu lafazd
yang ditetapkan untuk dua arti atau lebih yang dilakukan dengan sengaja
berdasarkan hakikatnya.
Kajian
ta’wil sebagaimana ijtihad dan ra’yu tidak menyangkut nash-nash yang qat’i baik
secara khusus maupun secara umum yang merupakan landasan dari kaidah-kaidah
syara’ yang bersifat umum atau kaidah-kaidah fiqih yang berguna untukmenentukan
ketetapan hukum permasalahan furu, sehingga para imam dapat menerima dan
mengamalkannya.
Adapun
kajian daripada ta’wil adalah furu’ sebagaimana pendapat dari Imam
Asy-Syaukani. Ta’wil semakin berkembang pembahasannya sehingga menurut Hanafi
mencakup nash dan zahir.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah
yang dimaksud dengan ta’wil ?
2.
Apa
saja macam-macam ta’wil ?
3.
Apa
saja kaidah-kaidah ta’wil ?
4.
Bagaimana
ta’wil yang dilihat dari kualitasnya ?
5.
Apa
nas-nas yang bisa dita’wil ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ta’wil
Secara etimologi ta’wil berasal dari kata awwala, yuawwilu,
ta’wilan yang berarti al-tafsir yaitu penjelasan, uraian atau
al-Marja’, al Mashir yang berarti kembali atau tempat kembali.[1]
Sedangkan menurut
terminologi para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan ta’wil,
diantaranya yaitu :
1.
Menurut
Abdul Wahab, ta’wil adalah :
صرف اللفظ عن ظا هربد ليل
“Memalingkan
lafadz dari zahirnya karena ada dalil”.
2.
Menurut
Abu Zarhah, ta’wil adalah:
إخراج اللفظ عن ظا هر معناه الى معنى اخريحتمله وليس هوالظا هرفيه
“Mengeluarkan
lafadz dari artinya yang zhahir kepada makna lain, tetapi bukan zhahirnya”.[2]
3.
Menurut
Imam Ghazali, ta’wil adalah
“Ungkapan
tentang pengambilan makna dari lafadz zhahir yang didukung oleh dalil dan
menjadikan arti itu lebih kuat di banding makna yang ditujukan oleh makna
zhahir”.[3]
Contoh
:
....يَدُاللهِ
فَوْقَ أَيْدِ يْهِمْ.....
“….tangan Allah di atas tangan mereka….”(Q.S. Al-Fath : 10)
Kata
“yadullu” (tangan Allah) sebagaimana tersebut di atas di ta’wil dengan
“alqudratu” yang artinya kekuasaan Allah.[4]
Abdul Whab Khallaf menegaskan dalam kitabnya ilmu Ushul Fiqh bahwa
ta’wil dianggap sah/benar jika diperkuat oleh dalil syariat baik nas (Al-Qur’an
dan Hadits) atau qiyas, ruh tasyri’, dan dasar-dasarnya yang bersifat umum.
B.
Macam-macam Ta’wil
1.
Ta’wil
Qarib
Ta’wil qarib ialah ta’wil yang dekat dengan pemahaman, yakni ta’wil
yang dengan arti dzohirnya dan dapat dipahami dengan mudah dan dapat juga dapat
dikatakan bahwasannya ta’wil ini adalah ta’wil yang penempatannya cukup dengan
dalil ataurgument yang sederhana.
Misalnya
dalam firman Allah Q.S. Al-Maidah : 6.
يَااَيُّهاَ
الَّذِيْنَ امَنُوْا اِذاَقُنْتُمْ اِلَى الصَّلوةِ فَا غْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ
وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى اْلمَرَافِقِ...
Artinya:
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hedak mengerjakan shalat maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku-siku”
Dalam ayat tersebut, kata kuntum dipalinhkan dari makna
lahirnya, yaitu “kamu telah berdiri” kepada makna yang lebih dekat yaitu “kamu
hendak mengerjakan” dalilnya Allah tidak memerintahkan wudhu sesudah orang yang
mengerjakan sholat,sebab wudhu merupakan syarat sholat yang mana syarat yang
harus ada sebelum mengerjakan sholat.
2.
Ta’wil
Ba’id
Ta’wil ba’id
ialah ta’wil yang jauh dari pemahaman, yakni ta’wil yang dalam penetapannya
tidak cukup dengan dalil atau dengan argument yang sama. Takwil semacam ini
bisa juga dikatakan sebagai ta’wil yang jauh dari arti dzohirnya dan sulit
dipahami dan dalam penetapannya harus dengan dalil yang kuat dan dapat
menjadikan lebih rajah daripada makna dzohir. Misalnya dalam firman Allah Q.S.
Al-Mujadillah : 4.
فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعاَ مُ
سِتِّيْنَ مِسْكِيْناً
Artinya :
“Maka
barang siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) member makan enam puluh fakir
miskin.”
Mengenai
ta’wilan ayat di atas menurut mazhab Hanafi yakni kata “member makan enam puluh
orang miskin” itu maksudnya adalah kebutuhan. Menurut mereka, hal ini cukup
dengan “memberi makan enam puluh orang
miskin dalam enam puluh hari”. Ini merupakan ta’wil yang jauh karena ada
pengalihan dari bilangan tertentu, yaitu “enam puluh orang miskin” menjadi
“enam puluh hari”.
Menurut Imam
Syafi’i penakwilan seperti itu dianggap ta’wil yang ba’id dan dinyatakan
bathil, karena lafadz Sittin adalah lafadz khusus yang menunjukkan arti
qat’i sehingga tidak membutuhkan penakwilan.[5]
C.
Kaidah-Kaidah yang Berhubungan dengan Ta’wil
1.
الفروع يدخله التاؤيل اتفاقا
Artinya
: “Masalah cabang (furu’) dapat dimasuki ta’wil berdasarkan konsensus”.
2.
الأصول لايدخله التا ؤيل
Artinya
: “ Masalah Ushuluddin tidak dapat menerima ta’wil”.
Adapun
ulama’ salaf seperti Hanbali dan Ibn Taimiyah memeperbolehkan adanya ta’wil
pada masalah usuluddin namun pada akhirnya ia memilih tafwidh (menyerahkan arti
sebenarnya kepada Allah).
D.
Ta’wil Dilihat dari Kualitasnya
1.
Ta’wil
Shahih
v Ciri-ciri Ta’wil Shahih
Menurut
Khalid Ramadhan Hasan dalam kitabnya mu’jam ushul fiqih memberikan kriteria
tentang ta’wil shahih, diantaranya yaitu :
a.
Lafadz
itu dipastikan dapat menerima ta’wil, yaitu lafazd yang termasuk katagori
zhahir dan nas, lafadz yang termasuk katagori mufassar dan muhkam tidak dapat
dita’wil.
b.
Penta’wilan
didasari oleh dalil yang ma’qul baik berupa nas(Alqur’an dan hadits), qiyas,
ijma’, atau hikmah tasyri’ atau prinsip-prinsipnya yang bersifat umum.
c.
Ta’wil
tidak bertentangan dengan nas yang sharih.
v Metode Ta’wil yang Shahih
Menurut Abu Zahra,
metode ta’wil yang shahih dapat ditempuh dengan cara sebagai berikut :
a.
Mentakhsis
kalimat umum seperti lafadz jual beli.
b.
Men-taqyid
kalimat mutlaq seperti kata “darah” dalam ayat sebagai berikut dalam Q.S. Al-Maidah
ayat 3 :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ اْلمَيْتَةُوَالَدَّمُ...
Artinya :
“Diharamkan
bagimu (memekan) bangkai dan darah…”
Kata darah
dalam ayat diatas bersifat mutlaq, maka kemudian dibatasi (ditaqyid) oleh darah
yang mengalir. Yang mana dijelaskan dalam
Q.S al-An’am ayat 145 :
قُلْ لاَاَجِدُفىِ مَا اُوْحِيَ الَىَّ مُحَرَّماً عَلىَ طَعاَ مٍ
يَطْعَمُهُ اِلاَّ اَنْ يَكُوْنَ مَيْتَةً اَوْدَماً مَسْفُوْحاً
Artinya :
“Tiadalah aku
peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi
orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu atau darah yang
mengalir…”
Setelah
ditaqyid maka keharaman darah tidak lagi bersifat mutlaq yang menunjukkan
kepada semua bentuk darah, tetapi sudah terbatas kepada darah yang mengalir.
Dengan demikian, darah yang tidak mengalir seperti hati hukumnya tidak haram.[6]
2.
Ta’wil
Fasid
Ta’wil
fasid adalah memalingkan makna zhahir ke makna yang tidak memungkinkan, atau
masih memungkinkan namun tidak di dukung oleh dalil. Ta’wil semacam ini ditolak
karena tidak memenuhi persyaratan ta’wil. Sehingga jika ada susunan kalimat
yang ditakwil maka ta’wilnya itu jadi rusak karena ada penyimpangan dari
persyaratan ta’wil.
Contoh Q.S. Al-Maidah ayat 89 :
.
“….maka kifarat (melanggar) sumpah itu, ialah ember makan sepuluh
orang miskin….”
Ayat diatas di
ta’wil dengan “memberi orang miskin sepuluh kali”, bukan “member makan sepuluh
orang miskin”. Pentakwilan seperti ini ditolak (mardud), karena adanya kecacatan
dalam ta’wil dan meremehkan ta’wil yang memang telah jelas ditunjukkan oleh nas
secara ta’wil.[7]
E.
Lafaz Nas yang dapat Menerima Ta’wil
Adapun nas yang dapat menerima ta’wil diantaranya :
1.
Nas-nas
Al-Qur’an atau hadits Nabi yang diduga mengandung bentuk “penyamaan” sifat
Allah dengan apa yang berlaku dikalangan manusia,padahal Allah tidaklah bisa
disamakan dengan yang lainnya. Misalnya, menta’wilkan “tangan Allah” dengan
“kemurahan Allah” seperti disebutkan dalam Q.S.Alma’idah ayat 64 :
..
Artinya :
”...bahkan dua tangan-Nya terbuka
lebar, member menurut sesuka-Nya”.
2.
Nas-nas
yang khusus berkaitan dengan hukum taklifi. Ta’wil dalam masalah ini berupaya
untuk menyelaraskan hukum yang terdapat dalam ayat-ayat dan hadits-hadits yang
secara lahiriah terkesan ada pertentangannya. Ta’wil semacam ini adalah
mentakhsiskan terhadap lafazd yang umum. Misalnya, Q.S. at-Talaq ayat 4 :
Artinya
:
“…dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka ialah sampai mereka
melahirkan”.
Dalam
Q.S. Al-baqarah ayat 234 disebutkan :
...
Artinya
:
“Orang-orang
yang meninggal dunia diantara kamu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah
para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari…”
Zahir ayat yang disebut pertama menunjukkan bahwa melahirkan
merupakan akhir masa iddah, baik iddah yang disebabkan oleh talak maupun iddah
yang disebabkan karena suami meninggal dunia. Adapun nas yang kedua menunjukkan
bahwa iddah yang disebabkan suaminya meninggal dunia ialah empat bulan sepuluh
hari, baik istri hamil atau tidak hamil. Guna menghindari pertentangan
pengertian kedua ayat diatas, maka ayat tentang iddah wanita yang ditinggal
suaminya ditakhsis oleh keadaan tidak hamil.[8]
F.
Perbedaan Ta’wil dan Tafsir
1.
Ta’wil
adalah esensi sesuatu yang berada dalam realita (bukan dalam fikiran). Sedangkan
tafsir adalah merupakan syarah dan penjelasan bagi suatu perkataan dan
penjelasan ini berada dalam fikiran dengan cara memahaminya dan dalam lisan
dengan ungkapan yang menunjukkannya.
2.
Ta’wil
adalah apa yang berhubungan dengan dirayah dan tafsir itu adalah apa yang
berhubungan dengan riwayah.
3.
Ta’wil
lebih banyak digunakan dalam menjelaskan makana dan susunan kalimat, sedangkan
tafsir adalah lebih banyak dipergunakan dalam (menerangkan) lafadz dan mufrodat
(kosakata).[9]
4.
Ta’wil
lebih banyak dipergunakan makna dan kalimat dalam kitab-kitab yang diturunkan
Allah, sedangkan tafsir adalah lebih umum dan lebih banyak dipergunakan untuk
lafazd dan kosakata dalam kitab-kitab yang diturunkan Allah dan kitab-kitab
lainnya.
5.
Ta’wil
menetapkan makna yang dikehendaki suatu lafazd yang dapat menerima banyak makna
karena didukung oleh dalil, sedangkan tafsir menerangkan makna lafazd yang
menerima selain dari satu arti.
6.
Ta’wil
menyeleksi salah satu maknayang mungkin diterima oleh suatu ayat tanpa
menyakinkan bahwa itulah yang dikehendaki Allah, sedangkan tafsir adalah
menetapkan apa yang dikehendaki ayat dan menetapkan seperti seperti yang
dikehendaki Allah.
7.
Ta’wil
adalah menafsirkan batin lafazd, sedangkan tafsir ialah menerangkan makna
lafazd baik berupa hakikat atau majaz.[10]
[1] Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung : Pustaka Setia, 2010), h. 169
[2] Muhammad Abu
Zahrah, Ushul Fiqh, (Kairo : Dar al-Fikr Al-Arabi), h. 131
[3]Abu Hamid
al-Ghazali, al-Musthafa fi Ilm al-Ushul, (Bairut: Dar al-Kutub
Islamiyah, 1973),h.128
[4] Sapiudin
Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta : Prenada Media Group, 2011), h. 214
[5] Ahmad Qarib, Ushul
Fiqh 2, (Jakarta : PT. Nisam Multima, 1997), h. 43-45
[6]
Sapiudin
Shidiq, Ushul Fiqh …., h. 217
[7] Sapiudin
Shidiq, Ushul Fiqh …., h. 218
[8] Sapiudin
Shidiq, Ushul Fiqh…, h. 221
[9] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu
Al-Qur’an, (Jakarta : PT. Lentera AntarNusa, 2000), h. 460
[10] Hasbi
Ash-Shidqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1994), h.181-182